Selasa, 18 September 2012


Senin, 04/10/2010 13:59 WIB

PR Berat Kapolri Baru (5)

Budaya Kekerasan Belum Juga Surut di Tubuh Polri

Deden Gunawan,M. Rizal - detikNews

Jakarta Salah satu pekerjaan rumah Kapolri baru adalah mengurangi budaya kekerasan yang masih terus berlangsung di lingkungan kepolisian. Sebetulnya materi HAM sudah masuk kurikulum pendidikan Polri, tetapi ternyata hal itu belum berhasil mengubah kebiasaan buruk tersebut.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sepanjang dua tahun terakhir, ditemukan banyak kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan aparat kepolisian. Di antaranya, kasus penyiksaan, salah tangkap, penganiayaan, penembakan, pembubaran acara, hingga tindakan yang berujung pada kematian korban.

"Dalam tiga sampai empat bulan terakhir, terjadi peristiwa kekerasan yang dilakukan polisi, seperti terjadi di Manokwari (Papua), Buol (Sulteng) dan kasus salah tangkap di Sumsel. Yang memprihatinkan kasus penangkapan itu dilakukan Densus 88," kata Koordinator Kontras, Harris Azhar, dalam bincang-bincang dengan detikcom di ruang kerjanya di Jl Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat.

Menurut Harris, budaya kekerasan ini terpelihara, karena tidak pernah ada sanksi yang tegas. Yang ada hanya sidang kode etik internal, yang paling lama hukumannya dua minggu. Dan kesalahan itu selalu direduksi menjadi kesalahan indisipliner. Jadi, implikasi adanya orang salah tangkap, disiksa sampai terbunuh, hanya berupa sanksi indisipler semua. Kualitas kejahatan tidak pernah dilihat secara jujur. 

Harris mencontohkan, dalam kasus penyiksaan, para korban yang mengalami siksaan fisik tidak mendapatkan pendampingan bantuan hukum, sehingga polisi yang terlibat dalam kasus tersebut bisa melakukan tindakan semena-mena kepada korban. Tindakan tersebut juga diperburuk dengan ketidaklengkapan administrasi pemeriksaan polisi pada saat penangkapan, seperti ketiadaan surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan. Dalam hal ini polisi kerap tidak mengindahkan aspek-aspek hak tersangka yang juga memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara lainnya.

Dari catatan Kontras sepanjang tahun Juni 2009-Juni 2010, setidaknya ada 18 laporan pengaduan yang diklasifikasikan sebagai laporan praktik penyalahgunaan wewenang kepolisian. Dari laporan tersebut, tercatat 16 kasus penyiksaan (2009) dan 9 kasus (2010), salah tangkap 8 kasus (2009) dan 7 kasus (2010), 3 kasus penganiyaan (2009), penembakan ada 7 kasus (2009) dan 2 kasus (2010), pembubaran acara dua kasus (2009) dan satu kasus (2010). Praktik penyalahgunaan wewenang kepolisian ini nyaris terjadi secara merata di beberapa kota di Indonesia.

"Titik ekstrem praktik penyimpangan banyak terjadi di wilayah- wilayah konflik, khususnya di Papua. Pola pelanggaran HAM yang tidak terawasi seperti, pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing), penggunaan kekerasan yang tidak perlu dan berlebihan dalam merespon perubahan sosial, kriminalisasi, penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang, hingga berakibat pada kematian yang dialami korban," ujar Harris lagi.

Kontras mencatat, paling banyak kasus yang sering dilakukan kepolisian adalah kriminalisasi terhadap petani adat. Khususnya, ketika terjadi konflik atau sengketa tanah antara masyarakat atau petani dengan pihak perusahaan yang ingin menguasai tanah. "Kebanyakan polisi lebih banyak melindungi kepentingan perusahaan atau pemilik modal. Seakan polisi dijadikan proyek jasa pengamanan, karena memang punya senjata. Istilahnya, ada harga, ada keamanan. Enggak ada harga, ya enggak ada keamanan," tuturnya.

Kasus kriminalisasi kepada para petani ini, salah satunya menimpa Pastor Rantinus Manalu di Sumatera Utara pada 9 Desember 2009. Kasus berawal dari sangkaan tindak pidana kepada korban dengan mengerjakan, menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan atau merambah, membakar, kawasan hutan di register 47 Desa Purba Tua dan Desa Hutaginjang, Kecamatan Barus Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah. 

Kasus penembakan anggota polisi di Riau pada pada 8 Juni 2010, saat penguasaan lahan kelapa sawit oleh PT Tribakti Sari Mas. Dalam kasus ini dua orang warga Desa Koto Cengar, Kecamatan Kuantan Mudi, yaitu Ibu Yusniar (45) dan Disman (43) tewas. Dari serangkaian kekerasan yang terjadi terdapat 64 orang petani ditahan, yaitu enam (6) di Riau, enam (6) di Sumatera Barat, 3 (tiga) di Bengkulu, lima (5) di Tapanuli Selatan-Sumatera Utara, dua (2) orang di Kabupaten OKI-Sumatera Selatan, 24 orang di Banggai Sulawesi Tengah, dan 18 orang di Kalimantan Barat.

Di Papua, lanjut Harris, ada dugaan polisi melakukan pembunuhan di luar hukum kepada Melkias Agape, warga yang diduga mencuri, pada tanggal 24 Juni 2009 di Kota Nabire. Kondisi serupa juga menimpa Abet Nego Keiya, yang ditemukan tewas di Desa Waharia, Kabupaten Nabire. Dadanya hancur dan ditemukan beberapa luka, termasuk pada ketiak, perut, pergelangan, paha kanan, dan betis kiri. Menurut saksi, polisi telah menangkapnya di pasar Karang Tumaritis di Kota Nabire pada 6 April 2009 saat demonstrasi protes. Kasus pembunuhan lainnya menimpa Yawan Wayeni, pada 13 Agustus 2009 di Serui. Wayeni dituduh sebagai aktivis penggerak TPN/OPM yang dikategorikan oleh polisi sebagai pihak yang meresahkan ketertiban umum.

Selain kriminalisasi, modus yang kerap dilakukan polisi dalam melakukan tindak kekerasan adalah pembubaran acara. Seperti pembubaran Lokakarya Guru Sejarah di Yogyakarta, pembubaran Konferensi Regional Internasional Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Intersex Asosiasi (ILGA) di Surabaya, pembubaran pelatihan HAM waria di mana acara diprakarsai oleh Komnas HAM.

Maraknya pembubaran acara yang dilakukan oleh ormas tertentu belakangan ini, menempatkan institusi Polri sebagai pihak yang cenderung membiarkan praktik kekerasan di level horizontal beranak pinak. Dalam praktiknya, polisi masih berpatok pada paradigma lama yang masih menolak sikap korektif masyarakat terhadap negara, menganggap kebebasan bependapat, berekspresi dan kebebasan menjalankan agama serta kepercayaan sebagai ancaman terhadap negara, keamanan dan ketertiban masih hidup di lingkungan kepolisian. Dengan kata lain, rendahnya pemahaman tentang hak asasi manusia ditingkat institusi maupun personal kerap menimbulkan masalah yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Melihat sejumlah kasus di atas, pelaku tindak penyimpangan kewenangan konvensional yang mayoritas dilakukan oleh mereka yang berpangkat rendah. Bandingkan dengan praktik penyimpangan mutakhir yang terbongkar akhir-akhir ini, seperti wacana rekayasa kasus, megaskandal korupsi, skandal timbunan rekening, begitu banyak melibatkan nama-nama jenderal petinggi di jajaran kepolisian. Di sini hadir realita yang begitu menohok manakala profesionalisme dan disiplin sekadar diletakkan sebagai simbolisasi institusi.

Kenyataan ini erat kaitannya dengan minimnya pemahaman atas etika kepolisian, pola perekrutan, kultur kekerasan dalam membangun sistem pendidikan, beban kerja yang berlebihan, pola mutasi, dan bentuk-bentuk ketidakadilan dalam sistem kesejaheraan internal polisi.

Selama belum ada rezim kepemimpinan Polri yang baru, yang mampu membuat sebuah perubahan paradigmatik, baik di tingkat gagasan, kultur dan implementasi untuk membenahi organisasi Polri, dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokratik, mekanisme akuntabilitas dan penghargaan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, tampaknya upaya pembenahan tubuh Polri secara radikal masih akan menemui banyak hambatan. Sebenarnya, saat Polri dipimpin oleh Jenderal Pol Bambang Hendraso Danuri, sempat mengeluarkan surat keputusan tentang penghormatan pada masalah HAM.

"Sayangnya, ini agak kontras ketika Densus 88 digunakan, Skep Kapolri itu tidak diperhatikan di lapangan. Kapolri ngomong soal penghormatan HAM, tapi di lapangan tak diperhatikan. Ini fenomena umum. Mereka kayaknya tak mengerti atau memang tidak mau mengerti. Contoh ketika menghadapi kelompok yang menyerang kelompok minoritas keagamaan, polisi hanya menonton saja," pungkas Harris.

Tidak Pernah Belajar

Sementara Imparsial mencatat, praktik kekerasan polisi dalam enam tahun terakhir (2005-2010), cenderung bersifat stabil dan konsisten. Artinya, pihak kepolisian bisa dikatakan tidak belajar
dari kesalahan-kesalahan masa lalu dalam menggunakan kekerasan yang selama ini dianggap berlebihan.

Praktik kekerasan berlebihan yang dilakukan polisi terbanyak terjadi pada 2007 dengan jumlah 47 kasus. Sedangkan yang paling sedikit adalah tahun 2006, dengan 14 kasus. Dalam tahun 2010 sendiri telah terjadi 10 kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, dan jumlah ini masih sangat mungkin bertambah di kemudian hari mengingat belum adanya pembenahan yang dilakukan Polri untuk mengatasi perilaku kekerasan berlebihan yang dilakukan para anggotanya.

Kasus Kekerasan Polisi 2005-2010
1. 2005: 20 kasus
2. 2006: 13 kasus
3. 2007: 43 kasus
4. 2008: 23 kasus
5. 2009: 26 kasus
6. 2010: 10 kasus
Jumlah total 135 kasus

Jenis Kekerasan Polisi dan Korban Akibat Tindak Kekerasan
1. Pemukulan/penganiayaan 40 kasus
2. Kekerasan berlebih dalam penanganan unjuk rasa 10 kasus
3. Penangkapan sewenang-wenang 61 kasus
4. Penyerangan terhadap warga 3 kasus
5. Pemerkosaan/Pelecehan seksual 5 kasus
6. Pembunuhan 6 kasus
7. Perampokan 4 kasus
8. Perkelahian 3 kasus
9. Pemerasan 2 kasus
10. Perbuatan tidak menyenangkan/berkata kasar 1 kasus
Jumlah total 135 kasus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar